(a) Teori Tabularasa (John Locke dan Francis Bacon)
Teori ini
mengatakan bahwa anak yang baru dilahirkan itu dapat diumpamakan sebagai
kertas putih yang belum ditulisi (a sheet ot white paper avoid of all
characters). Jadi, sejak lahir anak itu tidak mempunyai bakat dan
pembawaan apa-apa. Anak dapat dibentuk sekehendak pendidiknya. Di sini
kekuatan ada pada pendidik. Pendidikan dan lingkungan berkuasa atas
pembentukan anak.
Pendapat John Locke seperti di atas dapat disebut
juga empirisme, yaitu suatu aliran atau paham yang berpendapat bahwa
segala kecakapan dan pengetahuan manusia itu timbul dari pengalaman
(empiri) yang masuk melalui alat indera.
Kaum behavioris juga
berpendapat senada dengan teori tabularasa itu. Behaviorisme tidak
mengakui adanya pembawaan dan keturunan, atau sifat-sifat yang
turun-temurun. Semua Pendidikan, menurut behaviorisme, adalah
pembentukan kebiasaan, yaitu menurut kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di
dalam lingkungan seorang anak.
(b) Teori Navitisme (Schopenhauer)
Lawan
dari empirisme ialah nativisme. Nativus (latin) berarti karena
kelahiran. Aliran nativisme berpendapat bahwa tiap-tiap anak sejak
dilahirkan sudah mempunyai berbagai pembawaan yang akan berkembang
sendiri menurut arahnya masing-masing. Pembawaan anak-anak itu ada baik
dan ada yang buruk. Pendidikan tidak perlu dan tidak berkuasa apa-apa.
Aliran
Pendidikan yang menganut paham nativisme ini disebut aliran pesimisme.
Sedangkan yang menganut empirisme dan teori tabularasa disebut aliran
optimisme.
Kedua teori tersebut ternyata berat sebelah. Kedua teori
tersebut ada benarnya dan ada pula yang tidak benarnya. Maka dari itu,
untuk mengambil kebenaran dari keduanya, William Stern, ahli ilmu jiwa
bangsa Jerman, telah memadukan kedua teori itu menjadi satu teori yang
disebut teori konvergensi.
(c) Teori Konvergensi (William Stern)
Menurut
teori konvergensi hasil pendidikan anak dipengaruhi oleh dua faktor,
yaitu pembawaan dan lingkungan. Diakui bahwa anak lahir telah memiliki
potensi yang berupa pembawaan. Namun pembawaan yang sifatnya potensial
itu harus dikembangkan melalui pengaruh lingkungan, termasuk lingkungan
pendidikan, oleh sebab itu tugas pendidik adalah menghantarkan
perkembangan semaksimal mungkin potensi anak sehingga kelak menjadi
orang yang berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, nusa, dan bangsanya.
Hak
negara terhadap pengajaran dan pendidikan juga diterimanya dari Tuhan
(bukan negara polisi atau totaliter), seperti hak orang tua terhadap
anaknya. Tetapi, hak itu bukan karena kedudukannya sebagai orang tua,
melainkan karena gezag atau kekuasaan yang menjadi milik negara untuk
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan bangsanya, yang sudah
menjadi tujuan negara itu sendiri.
Negara mempunyai hak dan kewajiban
untuk menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran bagi warga negaranya,
sesuai dengan dasar-dasar dan tujuan negara itu sendiri, yaitu mengatur
kehidupan umum menurut ukuran-ukuran yang sehat sehingga menjadi bantuan
bagi pendidikan keluarga dan dapat mencegah apa-apa yang merugikan
perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya.
Apabila keluarga
tidak mungkin lagi melaksanakan pendidikan seluruhnya (misalnya
pendidikan kecerdasan, pengajaran, dan sebagian dari pendidikan sosial ;
perkumpulan anak-anak), disitulah negara, sesuai dengan tujuannya,
harus membantu orang tua dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah dan
badan-badan sosial lainnya. Demikian juga, negara berhak dan
berkewajiban melindungi anak-anak, bila kekuatan orang tua – baik
material maupun moral – tidak dapat mencukupi, misalnya karena kurang
mampu, tidak sanggup, atau lalai.
Jadi, jelas di sini bahwa hak
orang-orang itu tidak mutlak. Hak itu terikat oleh hukum alam dan hukum
Tuhan, dan pendidikan itu harus pula sesuai dengan kesejahteraan umum.
Tetapi, hak negara yang demikian (turut campur tangan) tidak untuk
menduduki tempat orang tua, namun hanya untuk menambah yang kurang saja.
Apabila perlu – misalnya, hak orang tua itu dicabut (gila dan
sebagainya) – negara harus berusaha memberikan pendidikan kepada si
anak, yang sedapat-dapatnya mendekati pendidikan keluarga si anak atau
menyerahkan anak itu pada keluarga lain, tidak perlu menjadikan anak
milik negara.
Lebih lanjut, negara harus berusaha dan memberi
kesempatan agar semua warga negara mempunyai pengetahuan cukup tentang
kewajiban-kewajiban sebagai warga negara dan sebagai anggota bangsa yang
mempunyai tingkat perkembangan jasmani dan rohani yang cukup, yang
diperlukan untuk kesejahteraan umum (pendidikan kewarganegaraan), dan
tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan yang berlaku di negara yang
bersangkutan.
Negara berhak memiliki sendiri apa yang perlu untuk
pemerintahan dan untuk menjamin keamanan, juga untuk memimpin dan
mendirikan sekolah-sekolah yang diperlukan untuk mendidik
pegawai-pegawai dan tentaranya, asal pemimpin ini tidak mengurangi
hak-hak orang tua.
Sumber :
Soetopo, Hendyat. 2005. Pendidikan dan Pembelajaran (Teori, Permasalahan, dan Praktek). Malang : UMM Press.
No comments:
Post a Comment